Sunday, March 23, 2008

Solusi Pembangunan Sanitasi Indonesia

Artificial Interview
Nara sumber : Ir. Winarko Hadi S, MM
Profesi : Konsultan
Tanggal : 23 Maret ‘08
Pewawancara : Rudy Badil

Pertanyaan :
Aspek-aspek apa yang menjadi kendala dalam proses Pembangunan Sanitasi di Indonesia, terkait dengan :
1. Kebijakan Nasional
2. Implementasi di tingkat daerah ;
a. Pemerintah Daerah
b. Masyarakat

Jawab:

1) Kebijakan nasional:

Hal pertama yang perlu disadari oleh semua pihak, bahwa Pembangunan sanitasi (dalam hal ini adalah penanganan air limbah domestik) di Indonesia, tidak dapat dilakukan secara instan dengan membangun jaringan perpipaan (sewerage system) di kota-kota besar di Indonesia - seperti layaknya era penyediaan air bersih di masa lalu- hal itu, akan membutuhkan biaya yang sangat mahal dan memerlukan waktu yang relatif lama - seperti kita ketahui dari sisi investasi, biaya yang diperlukan membangun jaringan sewer beserta IPAL skala perkotaan, membutuhkan baiaya 4-5 kali lipat biaya investasi jaringan air bersih/minum.
Oleh karena itu, sebaiknya pembangunan sanitasi harus melalui proses yang sistematis melalui apa yang dinamakan evolusi-sanitasi - yaitu konsep pendekatan pengembangan program sanitasi - yang dimulai dengan;

1. Fase awal evolusi; berupa peningkatan sistem on-site (kondisi sanitasi kebanyakan saat ini), ditingkatkan secara teknis menjadi sistem on-site (septic tank) yang layak memenuhi persyaratan teknis, beserta dengan penyediaan pelayanan IPLT, baik skala kota maupun komunal. Fase ini dialamatkan bagi upaya peningkatan kesehatan masyarakat dan peningkatan akses masyarakat ke sanitasi dasar yang lebih baik.

2. Fase interim; berupa peningkatan on-site menjadi sistem komunal (centralize system),yang dapat berupa small sewerage system atau small bore system. Fase ini merupakan solusi sanitasi yang dialamatkan, dengan tujuan pengurangan pencemaran badan air ( sungai) / air tanah oleh polutan limbah cair domestik
3. Fase akhir evolusi sanitasi; merupakan fase peningkatan dari beberapa komunal system, yang dihubungkan oleh pipa induk ke IPAL terpusat, berupa sewerage system skala perkotaan. Fase ini dialamatkan untuk peningkatan kualitas lingkungan (lihat skema)




Ke—dua yang dibutuhkan dalam pembangunan Sanitasi di Indonesia adalah, tersedianya peraturan/per-undangan bidang sanitasi di- pusat setingkat Permen (Peraturan Menteri red.) atau diatasnya (Peraturan Pemerintah atau UU).
Saat ini sudah terdapat kesepakatan - dari 6 pejabat eselon 1 di level nasional- untuk kebijakan pembangunan sanitasi berbasis masyarakat, serta konsep kebijakan berbasis lembaga, yang diprakarsai oleh Bappenas ,melalui proyek Waspola.
Hendaknya ke 2 kebijakan tersebut di dorong saja menjadi Peraturan Pemerintah yang dapat digunakan sebagai payung kebijakan ditingkat Nasional. Dalam hal ini Bappenas dapat bertindak sebagai pemrakarsa -dalam fungsi koordinasi antar instansi ditingkat pusat- melakukan inisiatif penyusun regulasi, dan kemudian akan dapat ditindak lanjuti penyusunan peraturan pelaksanaannya (Permen) oleh Departemen Teknis atau Intansi yang bersangkutan.

Untuk jelasnya, Bappenas dapat bersama-sama atau bertindak sendiri dengan Depdagri serta Meneg LH yang mendorong Kebijakan Sanitasi berbasis Masyarakat dan Lembaga menjadi Peraturan Pemerintah, kemudian Departemen Teknis : Pekerjaan Umum, Kesehatan yang menyusun peraturan pelaksanaannya berupa Rencana Aksi (Action Planning).

2) Pemerintah Daerah dan Masyarakat;


Persoalan;
Kecilnya alokasi anggaran untuk sektor sanitasi, menggambarkan minimnya perhatian Pemerintah Daerah pada masalah sanitasi. Pemerintah Daerah tidak mempunyai perencanaan strategi program sanitasi untuk skala perkotaan (city-wide sanitation). Tidak terdapatnya institusi yang bertanggung jawab secara langsung kepada sanitasi perkotaan. Kebanyakan dari penentu kebijakan di kalangan eksekutif dan legislatif memiliki kesenjangan kapasitas dalam memahami betapa penting dan sangat mendesaknya penyediaan pelayanan bidang sanitasi bagi masyarakat. Disisi masyarakat pemahaman tentang sanitasi juga rendah, perilaku dan buruknya sanitasi masyarakat dikarenakan kurang mengenalnya pola hidup bersih dan merupakan kesenjangan yang nyata dalam memahami kesehatan lingkungan (hygiene) yang sehat, hal ini memperburuk kondisi lingkungan perkotaan.

Alternatif Solusi untuk Pemda;
Perlunya Dokumen Perencanaan Strategis Sanitasi Daerah yang melibatkan seluruh stakeholder baik lintas sektoral maupun pelibatan seluruh unsur masyarakat. Dokumen ini merupakan penjabaran dari dokumen perencanaan daerah yang sudah ditetapkan seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah atau Panjang Daerah (RPJM/PD).
Sedangkan langkah pendekatan yang dilakukan adalah merupakan suatu proses sbb:


Pembentukan Tim Pokja Sanitasi;
Tim Pokja Sanitasi, dibentuk dengan SK Kepala Daerah;
1. Ketua : Sekwilda / Bappeda
2. Anggota :
a. Perangkat pemerintah daerah dan unit-unit pelaksananya (SKPD) sebagai penyelenggara pelayanan publik di daerah seperti PU,Perkim,Kesehatan, Kebersihan, BPLH, Tata Ruang/Kota, Keuangan Daerah serta BUMD/PDAM
b. Anggota Dewan (Komisi B/C DPRD)
c. Masyarakat umum, industri, organisasi masyarakat (ormas) & organisasi non pemerintah (ornop), Unsur Masyarakat (LSM, Forum2, Toma)
d. Unsur Perguruan Tinggi, para akademisi, perguruan tinggi di daerah
Oleh karenanya sasaran utama adalah sebagai upaya pembangunan kapasitas (capacity building) seluruh stakeholder sanitasi di daerah maka Tim Pokja dalam bekerja dapat dibantu/difasilitasi oleh Tim Perguruan Tinggi

Penyusunan Dokumen Renstra;
Asas utama dalam penyusunan Dokumen Renstra Sanitasi adalah :
1. Proses penyusunan Rencana Strategis Sanitasi Perkotaan ini dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan seluruh pelaku utama (stakeholder) secara tanggap (responsiveness), berkeadilan dan melibatkan masyarakat
2. Melakukan peningkatan kemampuan aparat (capacity building) dalam setiap tahap kegiatan dengan berorientasi kepada proses (process oriented)
3. Menekankan kepada pencapaian komitmen yang dibangun secara bersama antara Pemda dengan para stakeholder, bekerjasama atau mengikutsertakan lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat dalam memecahkan masalah dan memberikan pelayanan publik secara berkelanjutan (suistainable)

Approach / Metodologi :

Pendekatan Partisipatif
Pendekatan partisipatif digunakan mengingat beberapa manfaat dalam program pembangunan daerah, berupa: efisien, efektif, menjalin kemitraan, memberdayakan kapasitas, memperluas ruang lingkup, meningkatkan ketepatan kelompok sasaran, berkelanjutan, pemberdayaan kelompok marjinal dan meningkatkan akuntabilitas. Meskipun disadari bahwa dengan pendekatan ini, membutuhkan biaya yang besar dan lambatnya proses pengambilan keputusan.
Dalam pelaksanaannya, proses partisipatif digunakan untuk melakukan identifikasi & analisis stakholders, konsultasi tingkat daerah, penyusunan program pembangunan, hingga monitoring dan evaluasi.
Melalui rangkaian panjang tersebut di atas, proses dan mekanisme perencanaan partisipatif diharapkan selalu muncul dalam setiap penggalian aspirasi & kebutuhan, konsultasi, penyepakatan, dan pengambilan keputusan. Aktor-aktor yang terlibat meliputi masyarakat, pemerintah daerah, dan DPRD.

Peningkatan kemampuan aparat,
Peningkatan kapasitas aparat dilakukan melalui on job training dengan pendekatan kelompok kerja. Proses ujicoba, perbaikan dan pemecahan masalah diharapkan membawa perubahan pada sumberdaya manusia. Pelatihan, pemberian tugas, diskusi, presentasi, konsinyasi dan menulis serta mengelola semiloka, menjadi pilihan strategi di sini.
Strategi pengembangan kapasitas aparat daerah diarahkan untuk mencapai sasaran: peningkatan kualitas kebijakan publik, pengembangan organisasi (organizational development) publik, pengembangan manajemen publik, pengembangan sistem akuntabilitas publik, dan pengembangan budaya organisasi (organizational culture) publik.

Membangun komitmen
Penekanan outcome kegiatan kepada komitmen yang terbangun diantara para stakeholder adalah sangat diutamakan. Dengan terbangunnya komitmen diantara semua pihak akan berarti separuh dari tujuan kegiatan tersebut telah tercapai. Komitmen adalah adalah buah kesadaran dan tanggung jawab secara kolektif demi tercapainya suatu tujuan.

Sehingga dalam penyusunan Perencanaan Strategis Sanitasi Perkotaan, terbangunnya komitmen diantara stakeholder baik dari pihak eksekutif maupun dari pihak legeslatif dan masyarakat lebih penting artinya bila dibandingkan dengan tersusunnya dokumen itu sendiri.
Skema Proses Penyusunan Renstra Sanitasi sbb


Format penyusunan dokumen Renstra, tidak boleh lepas dari format dokumen Perencanaan Strategi Daerah yang sudah ditetapkan dengan kandungan bab yang meliputi bagian-bagian sbb :
1. Potensi dan kondisi Eksisting Sanitasi
2. Kebutuhan masyarakat dan penentuan Visi, Misi dilakukan melalui penjaringan aspirasi masyarakat
3. SWOT analisis dan Penentuan Target & Sasaran
4. Kebijakan dan Strategi Program
5. Peng-anggaran, indikator kinerja serta penanggung jawab program
Dokumen ini merupakan dokumen perencanaan jangka menengah yang berlaku hingga 5 tahun ke depan, secara sektoral (SKPD) dokumen ini dapat berlaku sebagai dokuman Renstra SKPD.

Rencana Aksi

Merupakan dokumen Rencana Kerja (Renja), yang merupakan turunan tahun ke 1 atau ke 2 (tahun ke-n) dari Renstra Sanitasi Kota yang sudah ditetapkan dalam 5 tahun.
Dalam dokumen ini sudah terdapat indikasi program kegiatan serta dilakukan prioritasi dengan komponen determinan berupa :
1. Program Pemerintah Pusat/ Propinsi sebagai tugas pembantuan serta alokasi program DAK tahun ke-n
2. Hasil evaluasi pencapaian program tahun anggaran sebelumnya
3. Usulan program dari masyarakat (dokumen Musrenbang) th. Ke n atau hasil Real Demand Survey
4. Kemampuan keuangan daerah (kapasitas fiskal daerah)
Sedangkan unsur kegiatan merupakan hasil prioritasi program yang dapat berupa program fisik dan non fisik.
Pada dasarnya pelaksanaan rencana aksi ini merupakan bagian program yang dapat diusulkan dalam RAPBD tahun ke-n. Sehingga dijamin sumber pendanaanya. Adapun sumber-sumber pendanaan dapat berupa sumber pendanaan dari APBN (Pusat), APBD I (propinsi) serta APBD II (Kota/Kabupaten).

Solusi pada Masyarakat;

Pelibatan masyarakat;
Pelibatan masyarakat secara aktif dengan lebih menekankan pada faktor peran masyarakat dalam proses pembangunan Sanitasi sangat diperlukan dalam menjamin keberhasilan seluruh proses.
Pelibatan masyarakat dapat dimulai dari proses Perencanaan, Pembangunan dan Pengoperasian. Sebagai contoh ,model pembangunan Sanimas dapat dapat di replikasikan oleh Pemda sebagai model pembangunan sanitasi dengan pelibatan masyarakat secara aktif.

• Penyadaran masyarakat;
Pelibatan masyarakat tanpa dibarengi dengan proses penyadaran masyarakat - akan arti pentingnya sanitasi - hanya akan menimbulkan sikap pasif masyarakat yang berorientasi pada proyek. Hal ini juga diyakini tidak dapat menjamin sustainability. Faktor ini penting oleh karena pengalaman masa lalu pembangunan sarana dan prasarana yang dibangun oleh pemerintah, ternyata tidak dikelola dan dirawat oleh masyarakat.
Proses penyadaran masyarakat dapat dilakukan dengan kampanye, sosialisasi, desiminasi yang pada dasarnya adalah penyampaian informasi yang benar dan menjalin komunikasi aktif kepada masyarakat.
Contoh kegiatan ini misalnya program PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat), CTPS (Cuci Tangan Pakai Sabun).

Survey Kebutuhan Nyata – Real Demand Survey;
Adalah suatu kegiatan survey sample yang dilakukan pada lokasi tertentu, ditujukan untuk mengetahui kebutuhan nyata dari masyarakat, terkait dengan penyediaan sarana dan prasarana sanitasi oleh Pemerintah. Dari hasil survey ini akan dapat diketahui secara valid tentang kebutuhan, keinginan serta kemampuan masyarakat dalam ikut berpartisipasi pada pembangunan sarana dan prasarana dasar sanitasi. Secara teknis hasil RDS selain menggambarkan tingkat kebutuhan masyarakat dalam bentuk peta geografis, akan dapat diketahui juga wilayah-wilayah rawan sanitasi, sehingga akan memudahkan pengambil keputusan untuk melakukan proses penanggulangannya.

• Pelibatan unsur suasta
Peran suasta dalam pembangunan sanitasi di daerah, dapat secara nyata dilibatkan dalam kesempatan penyediaan sarana dan prasarana dasar sanitasi berupa;
1. Pembuatan tangki septic tank untuk tingkat rumah tangga, dengan penetapan kriteria serta sertifikasi kelayakan oleh instansi / dinas yang berwenang –kesempatan usaha penyediaan sarana tangki septic, sangat menjanjikan dari sisi profit, hal ini terbukti beberapa produsen tangki septic dalam negeri telah meproduksi dalam skala industri (sudah tersedia di toko2 bangunan di kota2 besar).
2. Pengusahaan WC umum oleh suasta di lokasi fasilitas umum, terminal, pasar,kawasan pemukiman buruh industri, ternyata diminati oleh pengusaha kecil, oleh karena keuntungan yang menjanjikan-kriteria desain, ijin serta monitoring dapat ditetapkan oleh Pemda, dengan pelayanan satu atap yang murah.
3. Pembangunan dan pengelolaan sewerage sytem dan IPAL skala kawasan dilingkungan perumahan, yang dilakukan oleh pengembang-kesempatan pengelolaan sanitasi yang dipadukan dengan pelayanan air minum, pengelolaan persampahan serta keamanan lingkungan, telah dilakukan oleh pengembang2 besar di Jakarta, seperti di perumahan Karawaci, Bumi Serpong Damai, kawasan Bintaro Jaya - Contoh ini secara nyata menarik bagi suasta untuk pengelolaan oleh suasta, oleh karena itu Pemerintah Daerah dapat menyiapkan kebijakan serta peraturan yang dapat lebih mendorong terlibatnya suasta dlam usaha ini.

Kelembagaan dan Peraturan Daerah
Dalam rangka pembangunan serta penyelenggaran pengelolaan sanitasi yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah, diperlukan unsur kelembagaan dan peraturan yang jelas serta tegas.

Kelembagaan;
Dalam hal kelembagaan harus ditetapkan lembaga atau instansi yang bertanggung jawab secara langsung terhadap bidang sanitasi di daerah. Persoalan kelembagaan ini sangat mendesak harus segera ditangani oleh karena berdasarkan pengalaman bidang sanitasi ini di beberapa daerah ditangani oleh lebih dari satu instansi- sebagai contoh di kota Surabaya masalah sanitasi (air limbah domestik) ditangani oleh BPLHD kota, di Bandung oleh PDAM, di Padang oleh dinas Perumahan Permukiman, di kota lain oleh dinas Kebersihan. Tidak ada ketentuan baku menyangkut hal ini, pada hal untuk sektor lainnya dengan tegas Pemerintah Pusat menentukan lembaga yang bertanggung jawab. Kerancuan ini mungkin disebabkan oleh karena definisi “Sanitasi” yang kabur pengertiannya. Di tingkat pusat, bidang sanitasi diterjemahkan dalam sub2 bidang air limbah domestik, persampahan, dan drainase lingkungan. Sedangkan di daerah dalam kewenangan/hak, bidang sanitasi bisa bermacam macam dinas dan badan yang menangani, namun dalam tugas dan tanggung jawab mungkin akan saling melemparkan ke dinas atau instansi lain. Kita berharap bahwa dalam kebijakan Nasional sanitasi berbasis lembaga-yang sedang dalam tahap penyempurnaan- akan ada solusi yang tegas tentang lembaga yang ditetapkan bertanggung jawab secara langsung bidang sanitasi di daerah.

Peraturan Daerah;
Ketiadaan peraturan yang secara tegas mengatur bidang sanitasi ditingkat pusat, menimbulkan kelangkaan Peraturan Daerah yang terkait dengan bidang Sanitasi. Keraguan Pemerintah Daerah dalam meng-adopsi kebijakan sanitasi Nasional, tergambarkan dari kecilnya alokasi anggaran tahunan bidang sanitasi di daerah, angkanya diperkirakan berada di bawah 1% dari total APBD.
Peraturan daerah yang mengatur perencanaan dan penyelenggaraan bidang sanitasi, sangat diperlukan dalam mendorong suksesnya pembangunan sanitasi di daerah.
Sebagai contoh dibeberapa kota besar di Indonesia yang telah memiliki jaringan air limbah (sewerage system) secara terbatas, belum mempunyai Peraturan Daerah yang mengharuskan kepada warga masyarakat yang rumahnya telah dilalui jaringan perpipaan air limbah, untuk wajib melakukan penyambungan langsung ke jaringan sewer. Kalaupun ada seperti yang terjadi di kota Medan – telah memiliki SK Walikota untuk kewajiban menyambung air limbah- tidak ada tindakan hukum (law enforcement) atau sanksi bagi yang melanggar ketentuan tsb. Di Jakarta, sudah ada SK Gubernur yang mengharuskan seluruh rumahtangga memiliki instalasi pengolah limbah cair di setiap rumah, berupa tangki biofilter (anaerobic tank), namun oleh karena terbitnya aturan tersebut yang agak berbau kontroversial, serta tiadanya penegakan hukum yang tegas, maka hingga hari ini pencemaran air tanah oleh limbah domestik diduga masih terjadi dibanyak tempat di Jakarta-data BPLHD Propinsi DKI Jakarta mendukung hal itu, dengan masih tercemarnya sumur-sumur penduduk oleh bakteri koli.
Dalam hal aturan, sudah selayaknya para pengembang -yang menyediakan perumahan bagi penduduk kota-kota besar di Indonesia – membangun fasilitas jaringan air limbah berikut IPAL-nya sebagai kelengkapan utilitas permukiman, layaknya jaringan jalan, listrik dan telepon, bahkan jaringan perpipaan air minum-secara ekonomi beban penyediaan utilitas sudah termasuk dalam harga jual per rumah . Ketentuan ini dapat diatur melalui Peraturan Daerah, dengan melekatkan aturan kewajiban penyediaan sarana dan prasarana sanitasi dalam ijin rencana tapak bangunan (site plan) dan IMB. Kalau saja semua daerah perkotaan di Indonesia mempunyai aturan Tata Kota seperti itu, sudah tentu hal ini akan sangat membantu Pemerintah dalam mengurangi beban anggaran bagi penyediaan sarana prasarana air limbah berupa jaringan perpipaan (sewerage system) di kota-kota besar.

Penutup
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tugas pembangunan bidang sanitasi oleh Pemerintah dibantu oleh masyarakat masih jauh dari optimal. Hal-hal yang perlu dilakukan dalam rangka mendorong akselerasi pembangunan bidang sanitasi, masih terkendala di semua lini – peraturan kebijakan, anggaran biaya, kesadaran masyarakat dan kelembagaan. Oleh karenanya pembangunan sanitasi yang merupakan bagian tak terpisahkan dengan kesejahteraan masyarakat, perlu dilakukan mobilisasi sumber daya secara nasional oleh Pemerintah pusat dengan menetapkan “KAMPANYE NASIONAL SANITASI” sebagai reformasi paradigma sanitasi nasional, layaknya “Kampanye KB” yang sukses di era lalu dalam menekan tingkat pertumbuhan penduduk. Dengan demikian pembangunan sanitasi di Indonesia tidak perlu dilakukan dalam hitungan abad untuk mencapai target MDGs.