Thursday, June 26, 2008

Konsep Eco-Estate -proposal to Sumarecon

Perencanaan Kawasan Yang Berwawasan Lingkungan:
Eco-Estate
Pengertian

Eco-Estate adalah pembangunan kawasan permukiman, di mana telah dilakukan pengukuran yang terukur terhadap beberapa komponen pembangunan yang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan, sehingga tercipta lingkungan yang sehat bagi masyarakat yang bermukim di kawasan permukiman tersebut.

Konsep eco-estate telah di implementasikan di negara-nagara maju di dunia , contoh paling dekat adalah negara Singapura yang mulai diikuti oleh negara jiran Malaysia dalam satu-dua dekade terakhir ini.

Negara Singapore telah membuktikan pembangunan kawasan permukiman yang ramah kepada lingkungan tanpa kehilangan julukan sebagai kota modern. Mereka telah mengubah kawasan yang dulunya merupakan kawasan rawa-rawa, pelabuhan niaga yang sesak, anak-anak sungai yang kotor, berubah menjadi kota yang saat ini telah tertata menjadi sebuah kawasan perkotaan dengan lingkungan yang asri, hijau dengan udara yang segar serta tersedianya hutan-hutan kota, sungai-sungai yang sehat, udara yang bersih dengan iklim mikro yang nyaman, serta lingkungan yang bersih dari sampah dan bebas banjir.

Intinya konsep pengembangan kota dan khususnya utilitas kota dengan menerapkan 3 R, reduce, reuse, recycle, yang berwawasan lingkungan. Ada delapan komponen eco-city (estate) yang harus diperhatikan dalam pengelolaan lingkungan, yaitu komponen udara-iklim mikro, air minum, air limbah, sampah, banjir, energi dan lingkungan alami.

Beberapa contoh penerapan eco-estate (city) adalah daur ulang air limbah dan sampah menjadi sumber air baku/tanah dan energi. Sampah padat maupun air limbah domestik permukiman akan di recycle dengan menggunakan incinerator dan digunakan kembali untuk keperluan pengkayaan tanah (komposting) dan biodeversity tanaman.Untuk penanganan kelebihan energi air berupa banjir, dikelola sehingga menghindari terjadinya genangan air, bahkan dapat disimpan menjadi alternatif sumber air baku bagi air minum masyarakat.

Pengembangan hutan-hutan kota dengan menekankan kepada keaneka ragaman hayati (biodervisity), program kali bersih, penurunan tingkat polusi, kebersihan, keamanan, kenyamanan, sering dilakukan dengan semboyan "green city", "green and clean", " go green"," blue sky" yang kesemuanya berorientasi kepada pembangunan berwawasan lingkungan, dan ini semua menjadi tuntutan uptodate bagi masyarakat perkotaan yang sudah "sesak" dan jenuh hidup dengan kemacetan, banjir, pencemaran air dan udara.

Pengembangan kawasan hunian Eco-Kelapa Gading-Estate

Kondisi morfologi dan topografi, kawasan pengembangan baru di sebelah timur laut Kelapa Gading, sungguh tidak menguntungkan, merupakan dataran rendah rawa-rawa, tempat alamiah air menggenang untuk "menunggu"-retention area- mengalir ke arah hilir -laut-, dialiri anak sungai Cipinang yang menyempit di hulunya, air tanah yang tinggi dan sangat dipengaruhi pasang surut.

Namun bagi pengembang sekelas Sumarecon, bukanlah suatu hambatan, mengubah daerah morfolgi yang tidak menguntungkan tersebut menjadi hunian kelas satu di kota Jakarta. Sejarah pengembangan wilayah kota baru Kelapa Gading adalah bukti nyata ketangguhan pengembang dalam menjinakan alam yang sulit. Hampir semua orang terperangah melihat kemajuan dan pengembangan wilayah ini sekarang, yang tadinya dilirikpun tidak oleh masyarakat, apalagi oleh para pengembang. Bahkan dalam 2 (dua) dekade kebelakang, wilayah permukiman Kelapa Gading tidak tercantum sebagai wilayah pengembangan permukiman dan niaga di RUTRK -DKI Jaya.

Tantangan pengembangan kawasan dengan konsep pengembangan CBD sebagai jangkar (anker) pusat pertumbahan untuk menarik minat masyarakat pembeli rumah, sudah berlalu, hampir semua pengembang menerapkan pembangunan Mall dan pusat perbelanjaan sekelas Mega sebagai daya tarik dan alat marketing, rasanya tidak perlu para pengembang berlomba-lomba lagi membangun Mall sekelas Giga di Jakarta untuk menarik pembeli, selain wilayah Jabodetabek yang sudah penuh dengan CBD, bahkan pembangunan mall sudah melebar ke daerah pinggiran (frange area). Pertanyaannya apakah masih relefan menanamkan investasi yang besar di suatu wilayah untuk menaikkan harga lahan di wilayah tersebut? Jawabannya bisa ya, bisa tidak. Tentunya hal ini diperlukan study market terhadap selera para konsumen untuk mendapatkan kepastian jawabannya. Persoalannya saat ini tidak tersedia cukup data yang akurat/valid dan reliable untuk melakukan analisis kajian terhadap minat pembeli rumah di Jakarta.

Fenomena pengembangan kota-kota Metropolitan di dunia dengan konsep kembali ke alam, berwawasan lingkungan, mungkin bisa menjadi alternatif pilihan alat marketing baru untuk menarik minat pembeli potensial perumahan baru di Jakarta. Konsep pengamalan 3 R, pengelolaan utilitas kota yang baik serta efisien, keamanan, kenyamanan, akan menjadi ikon pilihan bagi konsep hunian terkini yang relatif murah dan menarik.

Peng-Itegrasi-an Utilitas

Pengelolaan banjir dengan pengaturan drainase lingkungan yang ter-integrasi dengan pengelolaan air limbah dan air minum, sangat mungkin dilakukan, bahkan sistem ini dapat dikembangkan dengan sistem pengelolaan sampah yang terpadu sebagai pengelolaan utilitas lingkungan yang terintegrasi. Manfaat dari pengembangan sistem utilitas secara terpadu akan menghasilkan energi yang berguna bagi kawasan tersebut, bahkan dapat bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya.

Bagan alir konsep ini adalah sbb:

1) Banjir; yang setiap tahun datang di wilayah dataran rendah (Kelapa Gading) dapat diterapkan system polder pada perencanaan drainasenya, sistim ini ialah dengan membuat tanggul, berupa "green belt" di seputar kawasan yang bila memungkinkan dikombinasikan dengan membangun "boundary drain" di bagian hulu kawasan yang fungsinya mengalirkan air yang datang dari luar kawasan (bagian Selatan) untuk dialirkan menuju hilir (utara kawasan). Sistem mikro darinase di bagian dalam kawasan (inner area), dialirkan ke kolam penampungan berupa danau/situ, yang kemudian dilakukan pemompaan dengan pengoperasian automatic level, bila mencapai ketinggian tertentu. Fungsi situ/danau di musim kemarau akan dapat berfungsi sebagai (a) impounding reservoar; penampungan sumber alternatif air baku bagi cadangan bagi supply air minum kawasan (b) sebagai cosmetic area-tempat rekreasi dan penghias lingkungan-estetika (c) sebagai media penurunan temperatur lingkungan- micro climate (d) kawasan paru2 kota, dengan menghijaukan seputar danau/situ tsb.

2) Air limbah domestik; besarnya debit air limbah domestik adalah 60% hingga 70% dari kebutuhan air yang digunakan oleh setiap rumah tangga, potensi ini relatif besar apabila kita menghitung rata-rata kebutuhan air per rumah tangga = 60 s/d 100 m3/bulan atau konsumsi per hari 3 m3/rumahtanga untuk kelas rumah tangga menengah. Artinya, bila dihitung jumlah hunian di kawasan ini akan terbangun (asumsi 60% terbagun x 50 ha x 0,7 (factor) dibagi 150 m2/rumah )= 1400 san rumah, maka akan terdapat 1.400 x 3 m3/hari = 5.200 m3/hari (~ 50 lt/detik) air yang dapat diolah dengan IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) komunal dengan sewerage system (pengaliran air limbah domestik dengan perpipaan), untuk dialirkan ke danau/situ drainase, sehingga menjamin kontinyuitas pengisian danau/situ di musim kemarau untuk tidak menjadi kering (menjadi sarang nyamuk, di kebanyakan danau buatan saat musim kemarau, karena kering -kurang supply air)

3) Air minum, biasanya supply air minum, didapatkan dari penyambungan perpipaan PDAM. Saat ini krisis kuantitas, kualitas, kontinuitas dan tekanan air PDAM, khususnya di wilayah Jakarta utara, menjadi persoalan bagi PAM Jaya dalam melayani kebutuhan air minum masyarakat. Kenyataan ini sudah menjadi problema masyarakat Jakarta, khususnya di musim kemarau. Mengandalkan PAM Jaya untuk mendapatkan sumber-sumber air baku baru,untuk pelayanan air minum kepada masyarakat, untuk saat ini, adalah sesuatu yang sulit diharapkan, oleh karena selain memerlukan investasi yang besar, juga karena kecenderungan krisis air baku yang meningkat setiap tahunnya, upaya penanggulangannya akan membutuhkan waktu cukup lama, apalagi saat ini PAM Jaya adalah debitur penunggak hutang terbesar dari PDAM2 di indonesia. Oleh karenanya, penyediaan air minum secara mandiri bagi suatu kawasan, merupakan hal yang diharapkan oleh Pemerintah, dalam hal ini pengembang bisa menjadikan potensi diatas (dengan dibangunnya waduk, sebagai impounding reservoar-) sebagai sumber air baku yang dapat di olah dengan IPA (Instalasi Pengolahan Air) dan dikelola secara mandiri. Peraturan serta perijinan dari Pemda DKI untuk pengelolaan air minum secara mandiri dalam hal ini, perlu dikaji terlebih dahulu.

4) Persampahan; Persoalan sampah di Jakarta saat ini terletak kepada masalah pengelolaan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), problem yang mengemuka adalah tidak tersedianya lahan yang cukup untuk membuang dan mengolah sampah kota di TPA. Persoalan sampah bagi DKI Jakarta merupakan persoalan yang rumit dan akan semakin sulit pengelolaanya di era otonomi daerah saat ini. Pengelolaan sampah dengan program 3 R (reduce, reuse dan recycle) saat ini mulai dikampayekan dan digalakan oleh Pemerintah. Diyakini dengan sistem pengelolaan 3 R akan dapat dikurangi timbulan sampah hingga hampir 70% jumlah timbulan sampah rumah tangga. Konsep 3R ini secara terpadu dapat diterapkan kepada kawasan-kawasan baru yang akan dibangun oleh pengembang. Proses 3 R dimulai dari tingkat rumah tangga dengan proses pemilahan antara sampah organik dan non organik (dengan menyediakan bak sampah yang terpisah), proses pengumpulan dapat dilakukan dengan menggunakan gerobak atau truk (dengan pemisah di baknya) pengangkut yang akan melayani secara "door" to door kesetiap rumah. Hasil pengumpulan sampah ini akan akan dikumpulkan di suatu tempat untuk dilakukan proses pemanfaatan kembali=reuse, untuk sampah organik akan diolah menjadi kompos, sedangkan sampah non organik dapat dijual, sisa sampah yang tidak termanfaatkan, dapat dikumpulkan untuk diangkut oleh truk Dinas Kebersihan ke TPA.

Manfaat

Konsep di atas, jelas dapat menjadi slah satu faktor "selling point" bagi pengembang, yang dapat 'menjual sebagai konsep kawasan eco-estate. Dalam hal ini akan terdapat 2 (dua) buyer; (1) adalah masyarakat yang ingin memiliki rumah, dengan keuntungan lingkungan yang ramah, bersih dan sehat (2) adalah Pemerintah daerah; konsep ini sangat mungkin dikerjasamakan dengan Pemda, melalui Dinas Tatakota, BPLHD dan PU DKI; dengan ikut berpartisipasi dalam program pelestarian lingkungan, dalam mengelola utilitas kota (air minum, air limbah, sampah, darinase dan program peresapan air tanah) yang pro lingkungan---perlu sosialisasi dan pendekatan intensip dengan pihak Pemda, melalui Kepala daerah ataupun dewan)

Selain hal diatas, tentu saja dengan pembangunan kawasan yang berwawasan lingkungan tsb. selain ikut mengurangi beban pemerintah daerah terhadap problem pelayanan umum, juga secara otomatis akan meningkatkan "citra" perusahaan dalam hal ini Sumarecon, sebagai salah satu pengembang yang pro-lingkungan, bahkan secara lebih luas konsep ini dapat diupayakan dukungan international melalui program-program negara donor, sebagai salah satu upaya pihak suasta berpartisipasi dalam program dunia - Global warming" dan "climate change"------perlu upaya sosialisasi politis ditingkat Nasional.

(provide by: Winces)

Saturday, June 14, 2008

Banjir Jakarta - obrolan GTPS

Banjir di Indonesia, khususnya Jakarta, karena hampir tiap tahun terjadi dan tidak pernah bisa menemukan solusinya------karena muahal..,ya jadi masyarakat kebanyakan sudah menerima (nrimo) saja, seperti juga masalah kemacetan lalu lintas, dua aspek ini bagi Jakarta, ibarat "benang ruwet kecampur ter (aspal)"......Uuuaangel.. tenan...........-kata alm Basuki. Coba kita simak cuplikan dari situs :
http://www.vhrmedia.net/
tentang sejarah banjir Jakarta; ---------"Merunut sejarah, banjir yang melanda Jakarta sama tuanya dengan usia kota ini. Banjir selalu memusingkan para pejabat yang memimpin kota ini. Sejak Wali Kota Suwiryo sampai Sudiro; Gubernur Dr Sumarno sampai Sutiyoso; Gubernur Jenderal Belanda sejak JP Coen sampai AWL Tjarda van Starkenborgh Stachoewer; semua gagal mengendalikan banjir. Seorang penulis asal Amerika Serikat yang pernah bekerja sebagai staf kantor penerangan AS pernah menyalahkan pendiri Batavia JP Coen karena mendirikan kota di atas rawa-rawa. Situs alwishahab.wordpress.com mencatat, pada masa penjajahan Belanda, banjir terbesar pernah melanda Jakarta pada 1872. Waktu itu sluisburg (pintu air) --di depan Masjid Istiqlal saat ini—jebol. Akibatnya air Ciliwung meluap, merendam pertokoan di Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk. Sebelumnya tercatat pada tahun 1671, 1699, 1711, 1714, dan 1854 Jakarta yang ketika itu masih bernama Batavia mengalami bencana yang sama.----------------- lebih lengkapnya sejarah penanganan banjir Jakarta, 3 dekade terakhir dapat dilihat di http://id.wikipedia.org/wiki/Banjir_Kanal_Timur Jadi menurut saya, yang salah bukan morfologi Jakarta, tapi ya penduduknya, ngapain sudah tahu Jakarta wilayah banjir kok ya, mbangun rumah diwilayah banjir....hehe..konon karena Jakarta ini sudah kehabisan lahan, jadi ya, bantaran sungai di pakai sebagai hunian, juga situ2 dan waduk2 yang dulu banyak di wilayah parung, depok dll., pada di urug para pengembang untuk dijadikan real estate, yang spektakuler wilayah Kapuk hingga Cengkareng drain yang dulunya, daerah rawa dan hutan lindung bakau, dan berfungsi sebagai "retensi pond", ditimbun seluas lebih dari 1000 ha untuk real estate, bisa dibayangkan, kalau dulunya air hujan dari hulu yang datang ke utara, "diam" dulu di rawa2 Kapuk saat air laut pasang, sekarang jadi "nunggunya" ya di Jalan Tol Bandara, hingga Daan Mogot, jadi ya gak usah heran, seperti juga di wilayah Sunter, Kelapa Gading, yang juga dulu merupakan wilayah luas "retensi pond", sekarang jadi real estate mewah, kalau pas hujan dan pasang naik, itu air akan antre di sebelah selatannya, Cipinang, Jatinegara, logis toh...
Banjir, menurut saya juga mengikuti hukum kekelan energi, tidak bisa dihilangkan hanya bisa dirubah atau dipindahkan saja------ini pengalaman saya waktu di konsultan dulu, menangani mikro drainase wilayah hunian (real estate); pesenan developer, selalu promosi wilayah hunian bebas banjir, padahal lahan mereka, bekas sawah atau rawa; saya bilang, bisa saja dengan desain dan teknologi, tapi saya hanya bisa memindahkan daerah genangan diluar tembok batas real estate, jadi real estatenya gak banjir, tapi wilayah sekitarnya jadi banjir, gimana berani ambil resiko di demo penduduk sekitarnya? Ya orang dagang, kan jawabnya bisa ditebak, dan saya ini "wong" cuma konsultan (Kongkonane Sultan) juga butuh dapur ngebul, ya sudah, bikin hitungan, sret.sret..bikin gambar, 1 minggu sudah selesai....sim salabim...genangan banjir saya pindahkan (kaya Bandung Bondowoso bikin candi Prambanan hanya 1 malam) tahun depan.... saat selesai konstruksi, banjir pindah tempat (kalau makro drainase yg jadi tanggung jawab Pemda ada diskitarnya bagus dan lancar ya gak banjir, tapi jangankan makronya wong mikronya saja mampet tersumbat sampah) ..itu dulu lho, waktu masih muda, punya jiwa grusah grusuh dan belon "pro poor"...sekarang ya sedikit lebih sadar lah..... soalnya sudah gak dapet job desain drainase lagi...he..he.. Tapi, begini...,secara teori penanggulangan banjir untuk morfologi dataran pantai, ya harus dirancang secara menyeluruh wilayah kota (holistik) dibuat master planningnya dulu atau di updatelah MP-nya (cat: Master Plan Jakarta dibuat th 1973 oleh Nedeco, di review 1991 oleh JICA, dekade 2000an?? setahu saya belon ada) Secara prinsip penaggulangan untuk daerah dataran pantai,digunakan system polder kombinasi dengan flood way (kanal). Untuk menahan air yang datang dari hulu, dibuat kanal-kanal (boundary drain) ---ya kaya ring road kalau dalam perencanaan jalan--, jadi air yg datang saat musim hujan dari hulu bisa dialirkan melingkar wilayah kota langsung ke laut (kaya banjir kanal barat dan rencana banjir kanal timur). Kemudian penanganan genangan air di inner boundary drain, ditangani dengan sistem polder dan perpompaan.
Persoalannya tentu sangat rumit, kalau wilayah inner seperti Jakarta, jangankan membangun polder baru skala luas (waduk2 penahan banjir),untuk mempertahankan polder alamiah yang ada saja sangat sulit, belum lagi untuk membuat kanal-kanal (boundary drain) akan ketemu dengan harga lahan yg tinggi - untuk pembangunan Banjir Kanal Timur diperlukan tidak kurang perlu dana Rp. 5 trilyun, dan cilakanya BKT berdasarkan review master plan lebih satu dekade yg lalu (th.1991), sudah mahal, hanya bisa menyelamatkan wilayah Cipinang, Jatinegara dan Kelapa Gading, jadi nanti kalau sudah kelar, kalau penanganan banjir Jakarta, hanya dengan sistem tambal sulam dan berdasrkan masterplan yg kadaluarsa, saya yakin banjirnya pindah ke wilayah Clilitan, pas Rebo...di selatannya. So..itu mas, anda sebagai planner kan paham, bahwa pertumbuhan ifrastruktur kota, tidak pernah dapat mengejar pertumbuhan kota itu sendiri. Jangan2, nanti kalau Mr. Van Nes, disuruh update master plan drainase Jakarta, dia akan merancang boundary drain, mulai dari Cibinong.., ketimur melingkar sampai Cikarang trus ke utara, ke barat sampai Balaraja, wuih..gak mau kalah dengan rencana Bina Marga, bikin jalan outer outer ring road (gek outer-nya mau kali berapa?), trus duitnya berapa T lagi, gak kebayang deh.. Daripada buang2 duit trilyunan, hasilnya juga tidak dapat menyelesaikan masalah, mending begini : Ada cara revolusioner (memang harus dg revolusi sistem makro drainase Jkt, tidak cukup hanya reformasi) harus agak edan idenya..; begini, inget dengan teori "bunyi", syarat terjadinya bunyi, harus ada sumber bunyi, ada media yg menyalurkannya dan kuping manusia. Jadi walau ada bom meledak keras (sumber bunyi) ada udara sbg media hantarnya, tapi kalau kupingnya budeg, ya gak berarti apa2, tetap sunyi... Analoginya dengan banjir, walau ada air bah dari Bogor dan ada genangan air setinggi 2 meter di Jakarta, tapi kalau Jakarta setengah kosong tidak ada penduduk yg tinggal di daerah genangan, ya namanya bukan banjir, karena gak ada manusia yg dirugikan,layaknya genangan air di hutan bakau dan gambut di pedalam Kalimantan, masya monyet bisa tereak2 banjir??
Jadi solusi banjir Jakarta adalah, memindahkan pusat pemerintahan RI ke wilayah lain (Bogor, atau di selatannya Sentul, saya lupa nama daerahnya yg dulu mau ditangani Bambang Tri), kaya KL pindah ke Putra Jaya), jadi Jakarta hanya pusat kegiatan ekonomi--------penduduknya pasti eksodus alamiah ikut hukum pasar, sebagian kesana. Dengan mengurangi tekanan penduduk thd infrastruktur Jkt, akan lebih mudah menangani banjir, sekaligus solusi bagi kemacetan lalin---yg konon juga merugikan milyaran rupiah setiap harinya. Apalagi dibarengi dengan peng-hutanan kembali kota Jakarta, dengan membatasi KDB menjadi 30-40 % saja, wah bisa layaknya kota Singapura, kota dg iklim mikro yg nyaman penuh hutan-------bayangkan kawasan Monas, Senayan, kalau perlu Mangga Dua jadi hutan primer...weh..weh..eduan...ya itu gilanya ide...he.he.. Itu mas, makanya dari awal saya sampaikan, masalah banjir Jkt ini kaya benang ruwet campur ter- bundel ruwet. Banjir Jakarta bukan sekedar masalah fisik belaka, tapi sudah menjadi masalah sosial-ekonomi dan ruang, penanganannya harus secara holistik, ya salurannya, ya penduduknya (sosekbud). Kalau nanti bulan Juni, JKT jadi banjir tenan, ya sudah terima saja sebagai "nasib", masyarakat kita toh sudah akrab kok dengan banjir, dipikiran mereka yang penting tidak selama-lamanya banjir, toh akan surut dalam beberapa hari...he..he.