Saturday, June 14, 2008

Banjir Jakarta - obrolan GTPS

Banjir di Indonesia, khususnya Jakarta, karena hampir tiap tahun terjadi dan tidak pernah bisa menemukan solusinya------karena muahal..,ya jadi masyarakat kebanyakan sudah menerima (nrimo) saja, seperti juga masalah kemacetan lalu lintas, dua aspek ini bagi Jakarta, ibarat "benang ruwet kecampur ter (aspal)"......Uuuaangel.. tenan...........-kata alm Basuki. Coba kita simak cuplikan dari situs :
http://www.vhrmedia.net/
tentang sejarah banjir Jakarta; ---------"Merunut sejarah, banjir yang melanda Jakarta sama tuanya dengan usia kota ini. Banjir selalu memusingkan para pejabat yang memimpin kota ini. Sejak Wali Kota Suwiryo sampai Sudiro; Gubernur Dr Sumarno sampai Sutiyoso; Gubernur Jenderal Belanda sejak JP Coen sampai AWL Tjarda van Starkenborgh Stachoewer; semua gagal mengendalikan banjir. Seorang penulis asal Amerika Serikat yang pernah bekerja sebagai staf kantor penerangan AS pernah menyalahkan pendiri Batavia JP Coen karena mendirikan kota di atas rawa-rawa. Situs alwishahab.wordpress.com mencatat, pada masa penjajahan Belanda, banjir terbesar pernah melanda Jakarta pada 1872. Waktu itu sluisburg (pintu air) --di depan Masjid Istiqlal saat ini—jebol. Akibatnya air Ciliwung meluap, merendam pertokoan di Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk. Sebelumnya tercatat pada tahun 1671, 1699, 1711, 1714, dan 1854 Jakarta yang ketika itu masih bernama Batavia mengalami bencana yang sama.----------------- lebih lengkapnya sejarah penanganan banjir Jakarta, 3 dekade terakhir dapat dilihat di http://id.wikipedia.org/wiki/Banjir_Kanal_Timur Jadi menurut saya, yang salah bukan morfologi Jakarta, tapi ya penduduknya, ngapain sudah tahu Jakarta wilayah banjir kok ya, mbangun rumah diwilayah banjir....hehe..konon karena Jakarta ini sudah kehabisan lahan, jadi ya, bantaran sungai di pakai sebagai hunian, juga situ2 dan waduk2 yang dulu banyak di wilayah parung, depok dll., pada di urug para pengembang untuk dijadikan real estate, yang spektakuler wilayah Kapuk hingga Cengkareng drain yang dulunya, daerah rawa dan hutan lindung bakau, dan berfungsi sebagai "retensi pond", ditimbun seluas lebih dari 1000 ha untuk real estate, bisa dibayangkan, kalau dulunya air hujan dari hulu yang datang ke utara, "diam" dulu di rawa2 Kapuk saat air laut pasang, sekarang jadi "nunggunya" ya di Jalan Tol Bandara, hingga Daan Mogot, jadi ya gak usah heran, seperti juga di wilayah Sunter, Kelapa Gading, yang juga dulu merupakan wilayah luas "retensi pond", sekarang jadi real estate mewah, kalau pas hujan dan pasang naik, itu air akan antre di sebelah selatannya, Cipinang, Jatinegara, logis toh...
Banjir, menurut saya juga mengikuti hukum kekelan energi, tidak bisa dihilangkan hanya bisa dirubah atau dipindahkan saja------ini pengalaman saya waktu di konsultan dulu, menangani mikro drainase wilayah hunian (real estate); pesenan developer, selalu promosi wilayah hunian bebas banjir, padahal lahan mereka, bekas sawah atau rawa; saya bilang, bisa saja dengan desain dan teknologi, tapi saya hanya bisa memindahkan daerah genangan diluar tembok batas real estate, jadi real estatenya gak banjir, tapi wilayah sekitarnya jadi banjir, gimana berani ambil resiko di demo penduduk sekitarnya? Ya orang dagang, kan jawabnya bisa ditebak, dan saya ini "wong" cuma konsultan (Kongkonane Sultan) juga butuh dapur ngebul, ya sudah, bikin hitungan, sret.sret..bikin gambar, 1 minggu sudah selesai....sim salabim...genangan banjir saya pindahkan (kaya Bandung Bondowoso bikin candi Prambanan hanya 1 malam) tahun depan.... saat selesai konstruksi, banjir pindah tempat (kalau makro drainase yg jadi tanggung jawab Pemda ada diskitarnya bagus dan lancar ya gak banjir, tapi jangankan makronya wong mikronya saja mampet tersumbat sampah) ..itu dulu lho, waktu masih muda, punya jiwa grusah grusuh dan belon "pro poor"...sekarang ya sedikit lebih sadar lah..... soalnya sudah gak dapet job desain drainase lagi...he..he.. Tapi, begini...,secara teori penanggulangan banjir untuk morfologi dataran pantai, ya harus dirancang secara menyeluruh wilayah kota (holistik) dibuat master planningnya dulu atau di updatelah MP-nya (cat: Master Plan Jakarta dibuat th 1973 oleh Nedeco, di review 1991 oleh JICA, dekade 2000an?? setahu saya belon ada) Secara prinsip penaggulangan untuk daerah dataran pantai,digunakan system polder kombinasi dengan flood way (kanal). Untuk menahan air yang datang dari hulu, dibuat kanal-kanal (boundary drain) ---ya kaya ring road kalau dalam perencanaan jalan--, jadi air yg datang saat musim hujan dari hulu bisa dialirkan melingkar wilayah kota langsung ke laut (kaya banjir kanal barat dan rencana banjir kanal timur). Kemudian penanganan genangan air di inner boundary drain, ditangani dengan sistem polder dan perpompaan.
Persoalannya tentu sangat rumit, kalau wilayah inner seperti Jakarta, jangankan membangun polder baru skala luas (waduk2 penahan banjir),untuk mempertahankan polder alamiah yang ada saja sangat sulit, belum lagi untuk membuat kanal-kanal (boundary drain) akan ketemu dengan harga lahan yg tinggi - untuk pembangunan Banjir Kanal Timur diperlukan tidak kurang perlu dana Rp. 5 trilyun, dan cilakanya BKT berdasarkan review master plan lebih satu dekade yg lalu (th.1991), sudah mahal, hanya bisa menyelamatkan wilayah Cipinang, Jatinegara dan Kelapa Gading, jadi nanti kalau sudah kelar, kalau penanganan banjir Jakarta, hanya dengan sistem tambal sulam dan berdasrkan masterplan yg kadaluarsa, saya yakin banjirnya pindah ke wilayah Clilitan, pas Rebo...di selatannya. So..itu mas, anda sebagai planner kan paham, bahwa pertumbuhan ifrastruktur kota, tidak pernah dapat mengejar pertumbuhan kota itu sendiri. Jangan2, nanti kalau Mr. Van Nes, disuruh update master plan drainase Jakarta, dia akan merancang boundary drain, mulai dari Cibinong.., ketimur melingkar sampai Cikarang trus ke utara, ke barat sampai Balaraja, wuih..gak mau kalah dengan rencana Bina Marga, bikin jalan outer outer ring road (gek outer-nya mau kali berapa?), trus duitnya berapa T lagi, gak kebayang deh.. Daripada buang2 duit trilyunan, hasilnya juga tidak dapat menyelesaikan masalah, mending begini : Ada cara revolusioner (memang harus dg revolusi sistem makro drainase Jkt, tidak cukup hanya reformasi) harus agak edan idenya..; begini, inget dengan teori "bunyi", syarat terjadinya bunyi, harus ada sumber bunyi, ada media yg menyalurkannya dan kuping manusia. Jadi walau ada bom meledak keras (sumber bunyi) ada udara sbg media hantarnya, tapi kalau kupingnya budeg, ya gak berarti apa2, tetap sunyi... Analoginya dengan banjir, walau ada air bah dari Bogor dan ada genangan air setinggi 2 meter di Jakarta, tapi kalau Jakarta setengah kosong tidak ada penduduk yg tinggal di daerah genangan, ya namanya bukan banjir, karena gak ada manusia yg dirugikan,layaknya genangan air di hutan bakau dan gambut di pedalam Kalimantan, masya monyet bisa tereak2 banjir??
Jadi solusi banjir Jakarta adalah, memindahkan pusat pemerintahan RI ke wilayah lain (Bogor, atau di selatannya Sentul, saya lupa nama daerahnya yg dulu mau ditangani Bambang Tri), kaya KL pindah ke Putra Jaya), jadi Jakarta hanya pusat kegiatan ekonomi--------penduduknya pasti eksodus alamiah ikut hukum pasar, sebagian kesana. Dengan mengurangi tekanan penduduk thd infrastruktur Jkt, akan lebih mudah menangani banjir, sekaligus solusi bagi kemacetan lalin---yg konon juga merugikan milyaran rupiah setiap harinya. Apalagi dibarengi dengan peng-hutanan kembali kota Jakarta, dengan membatasi KDB menjadi 30-40 % saja, wah bisa layaknya kota Singapura, kota dg iklim mikro yg nyaman penuh hutan-------bayangkan kawasan Monas, Senayan, kalau perlu Mangga Dua jadi hutan primer...weh..weh..eduan...ya itu gilanya ide...he.he.. Itu mas, makanya dari awal saya sampaikan, masalah banjir Jkt ini kaya benang ruwet campur ter- bundel ruwet. Banjir Jakarta bukan sekedar masalah fisik belaka, tapi sudah menjadi masalah sosial-ekonomi dan ruang, penanganannya harus secara holistik, ya salurannya, ya penduduknya (sosekbud). Kalau nanti bulan Juni, JKT jadi banjir tenan, ya sudah terima saja sebagai "nasib", masyarakat kita toh sudah akrab kok dengan banjir, dipikiran mereka yang penting tidak selama-lamanya banjir, toh akan surut dalam beberapa hari...he..he.

No comments: